"SELAMAT DATANG DAN TERIMAKASIH TELAH BERKUNJUNG"

Rabu, 19 Februari 2014


BAPAS DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Oleh : Andi Wijaya Rivai
Lahirnya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) memberikan harapan yang sangat besar bagi Kementerian Hukum dan HAM (c.q. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan) untuk segera memperkuat eksistensi Balai Pemasyarakatan dalam proses peradilan. Hal ini tidak lain karena UU SPPA ini memberikan peran yang begitu besar bagi Balai Pemasyarakatan (Bapas) dalam penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Bapas, melalui petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK), tidak hanya menjadi instansi yang diberikan tugas untuk melakukan penelitian kemasyarakatan berkaitan dengan anak yang terlibat dalam perkara pidana sebagaimana yang pernah diatur dalam UU Pengadilan Anak. Tetapi, melalui UU SPPA ini, Bapas menjadi salah satu unsure penting dalam proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan atau melibatkan anak.
UU SPPA ini mengatur secara jelas dan tegas peran yang harus, bahkan pada beberapa peran mempunyai gradasi ‘wajib”, dijalankan oleh Bapas. Peran yang dijalankan Bapas tersebut bergerak sejak tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Namun demikian, semangat yang terkandung dalam UU SPPA ini adalah dengan mengedepankan upaya pemulihan secara berkeadilan (Restoratif Justice) dan menghindarkan anak dari proses peradilan (Diversi). Oleh karena itu, Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. Namun perlu juga dipahami bahwa tidak semua jenis tindak pidana dapat dilakukan Diversi. Diversi ini dilaksanakan dalamhal tindak pidana dilakukan:
  1. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
  2. Buka nmerupakan pengulangan tindak pidana.
Sedangkan jika perkara anak harus masuk dalam proses peradilan, maka Bapas (dalam hal ini Pembimbing Kemasyarakatan) atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan mempunyai kewajiban untuk memberikan pendampingan terhadap anak dalam setiap tingkat pemeriksaan (lihat Pasal 23 ayat (1)).
Secara lebih rinci, merujuk pada UU SPPA, dapat dikemukakan peran Bapas dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, sebagai berikut:
  1. Proses Diversi
Dalam proses Diversi, Bapas mempunyai peran strategis, yaitu:
  1. petugas PK Bapas harus terlibat dalam proses diversi yang dilakukan pada setiap tingkat pemeriksaan. Keterlibatan petugas PK Bapas ini adalah dengan memberikan pertimbangan kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim selama proses diversi tersebut. Pertimbangan ini dimuat dalam hasil penelititan kemasyarakatan (litmas) yang dilakukan oleh petugas PK Bapas. (lihat pasal 8 dan 9 UU SPPA)
  2. memberikan rekomendasi tentang bentuk kesepakatan Diversi yang dilakukan oleh Penyidik untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat, harus didasarkan pada rekomendasip Petugas PK Bapas. Bentuk kesepakatan Diversi dapat berupa:
  1. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
  2. rehabilitasi medis dan psikososial;
  3. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
  4. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
  5. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
(lihat pasal 10 UU SPPA)
  1. setelah kesepakatan Diversi disetujui dan dilaksanakan, petugas PK Bapas wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab. Pejabat yang bertanggung jawab wajib menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. (liha tpasal 14 UU SPPA)
  2. petugas PK Bapas juga terlibat dalam pengambilan keputuan dalam proses diversi dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun. Keputusan yang diambil adalah dalam bentuk:
    1. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
    2. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Terhadap keputusan tersebut di atas, Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada Anak. Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Anak dinilai masih memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, masa pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. (lihat pasal 21 UU SPPA)
Itulah peran yang diemba noleh Bapas sejak awal proses Diversi hingga pelaksanaan keputusan Diversi.
  1. Tahap Penyidikan
Dalam tahap penyidikan, peran petugas PK Bapas adalah memberikan pertimbangan atau saran kepada penyidik setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. Dalam hal ini, permintaan pertimbangan atau saran kepada petugas PK Bapas merupakan kewajiban bagi penyidik. (lihat pasal 27 UU SPPA) Makna yang terkandung dalam pasal ini adalah apabila penyidik tidak meminta pertimbangan atau saran kepada PK Bapas terkait penanganan anak maka dapat dikatakan proses penyidikan tersebut batal demi hukum (tidak sah).
Selanjutnya, berdasarkan pasal 28 UU SPPA, Bapas mempunyai kewajiban untuk menyerahkan penelitian kemasyarakatan kepada Penyidik dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah permintaan penyidik diterima.
  1. Tahap Pemeriksaan Pengadilan
Pada tahap pemeriksaan pengadilan, peran strategis Bapas adalah:
  1. Memberikan pendampingan terhadap anak dalam siding pengadilan. (Pasal 55 UU SPPA)
  2. Membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan setelah surat dakwaan dibacakan. (Pasal 57 UU SPPA)
  3. Hadir pada saat pemeriksaan Anak Korban dan/atau Anak Saksi. (Pasal 58 ayat (2) UU SPPA)
  4. Dan melakukan pendampingan terhadap Anak Korban dan/atau Anak Saksi yang dilakukan pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual. (Pasal 58 ayat (3) UU SPPA)
Laporan hasil penelitian kemasyarakatan yang disampaikan oleh PK Bapas wajib menjadi bahan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara anak. Dan apabila laporan penelitian kemasyarakatan ini tidak dipertimbangkan dalam putusan Hakim, maka putusan batal demi hukum. Pengadilan mempunyai kewajiban memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan, selain kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hokum lainnya, dan Penuntut Umum, juga memberikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan. Sedangkan salinan putusan wajib diberikan paling lama 5 (lima) hari sejak putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hokum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum.
Mencermati  peran Bapas yang begitu besar dalam penanganan dalam perkara anak sebagaimana yang diatur dalam UU SPPA, maka memperkuat Bapas merupakan satu hal yang wajib segera dilakukan. Sudah semestinya, Bapasdipenuhi dengan petugas PK yang mempunyai kompetensi yang memadai sehingga mampu menyajikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan yang layak bagi aparat hukum lain (Polisi, Jaksa, atau Hakim) dalam menentukan keputusan terhadap anak; mampu melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan. Pada tataran lebih jauh, kebutuhan tentang petugas PK yang memiliki kompetensi yang memadai ini juga mempunyai peran penting dalam ikut menentukan program perawatan Anak di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan pembinaan Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya dan melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.
Jika demikian besarnya peran yang harus diemban oleh Bapas, masihkah kita ragu untuk memperkuat danmembesarkannya? SeharusnyaTIDAK.
Terus berkarya untuk Pemasyarakatan yang lebih baik.

MENKUMHAM : BEBAS BERSYARAT BISA DICABUT

Pembebasan bersyarat yang diberikan kepada ‘ratu mariyuana’ Schapelle Leigh Corby terus menuai protes. Pemerintah dinilai tunduk terhadap pemerintah Australia dan mengingkari komitmen memberantas peredaran narkotika di Tanah Air.
Kepada wartawan Media Indonesia Sri Utami, Menkum dan HAM Amir Syamsuddin menegaskan kewenangan memberikan pengampunan tersebut sudah tepat. Berikut petikan wawancaranya.
Apa alasan pemerintah akhirnya memberikan pembebasan bersyarat?
Sudah berulang kali saya katakana bahwa saya melaksanakan undang-undang dan pembebasan bersyarat tiga hari lalu itu bukan khusus untuk Corby, ada tiga orang asing. Corby salah satu dari 900 narapidana narkotika, diantara 1700 warga pidana yang berhak menerima pembebasan bersyarat.
Bebas maksud Anda?
Bebas itu bukan bebas murni keluar dari penjara. Dia masih berstatus narapidana. Dia harus menjalani, mematuhi peraturan itu sampai 2017.
Artinya Corby bisa meninggalkan Bali, begitu?
Dia harus meninggalkan tempatnya dengan pengawasan balai pemasyarakatan dan kejaksaan disana dan harus dengan sepengetahuan.
Jadi Corby bisa bebas keluar Bali?
Saya tidak boleh mengatakan tidak bisa. Itu sepenuhnya balai pemasyarakatan dan kejaksaan disana yang mengawasi.
Undang-undang kita sangat tegas melawan segala bentuk narkoba, tapi aplikasinya justru lembek. Menurut Anda?
Lembeknya dimana? Kalau soal pengampunan atau grasi, itukan hak konstitusional yang diberikan Presiden. Jangan karena Presiden melaksanakan haknya, lalu UU dikatakan lembek. Itu konstitusional yang mengaturnya.
Bagaimana dengan Komitmen Presiden yang mencanangkan 2014 sebagai tahun penyelamatan pengguna narkoba?
Oke, pencanangan boleh pencanangan. UU dan peraturan pelaksanaanya itu sudah mengatur dengan jelas dan mereka yang diberikan hak itu ialah mereka yang memenuhi peraturan yang ada.
Selalu bisa terjadi bahwa manakala ada persyaratan dilanggar oleh narapidana yang melanggar, (pembebasan bersyarat) akan dicabut.
Jaminan Corby tidak lari dari Indonesia?
Lo, kan semua sudah diatur. Ada iparnya yang menjamin. Kalau dia lari dari Indonesia, kita tinggal meminta kepada aparat dan dia akan langsung masuk dalam daftar pencarian orang.
Sumber : Media Indonesia, Edisi Selasa 11 Februari 2014 Halaman 3

PEMBEBASAN BERSYARAT BISA DICABUT DAN DIBATALKAN

Jakarta, INFO_PAS. "Pembebasan Bersyarat bisa dicabut dan dibatalkan," demikian dikatakan Direktur Bimbingan Kemasyarakatan (Bimkemas) dan Pengentasan Anak, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS),  Mardjoeki di Grand Boutique Hotel Jakarta, Rabu (3/10).
Untuk itulah, Marjoeki mengaku perlunyaStandar Operasional Prosedur (SOP) Pencabutan dan Pembatalan SK Pembebasan Bersyarat (PB), agar petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas memiliki pedoman standar, efektif dan efisien dalam menunjang tugasnya. 
Sebanyak 30 orang peserta yang terdiri dari pegawai Ditjenpas, Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta  dan perwakilan Bapas se-DKI,  terlibat dalam kegiatan pembahasan SOP Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang diselenggarakan dari tanggal 3 - 5 Oktober 2012.
 “Selama ini  pemberian hak Pembebasan Bersyarat (PB) kepada klien Pemasyarakatan masih dianggap sebagai pemberian yang permanen bagi narapidana, itu terlihat dari jumlah pelanggaran yang dilakukan narapidana dalam pelaksanaannya. Padahal pelanggaran-pelanggaran itu dapat membuat narapidana kehilangan SK PB-nya,” kata Mardjoeki.
Dari kegiatan ini, Mardjoeki berharap petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas yang mempunyai tugas dan fungsi pembimbingan dan pengawasan,  akan lebih konsisten terhadap pelaksanaan PB.
“Dengan menggunakan SOP, tujuan peningkatan serta penguatan peran dan fungsi Bapas dapat terwujud, berdasar ketatalaksanaan yang baik,” harap Mardjoeki.
Lebih lanjut, Mardjoeki berpesan bahwa kemampuan untuk merumuskan pemikiran-pemikiran konsepsional sistematis harus seiring dengan keberadaan perundang-undangan, mengingat di era reformasi ini segala langkah maupun kebijakan yang akan dilakukan harus memiliki dasar hukum.
“Selalu bersikap profesional dengan menjaga komitmen dan integritas moral dalam melaksanakan tugas, serta tetap memperhatikan rambu-rambu hukum yang berlaku,” demikian pesannya.
Sementara itu Kasubdit Bimbingan dan Pengawasan Klien Dewasa, Rachmayanti mengungkapkan bahwa selama rentang waktu Januari sampai dengan September tahun 2012, tercatat klien Bapas se-Indonesia berjumlah 41.926, yang telah dicabut SK PB-nya sebanyak 222 klien dan yang dibatalkan pembimbingannya ada 12 klien.
Sedangkan, tahun 2011 dari 36.366 klien yang menjalani Pembebasan Bersyarat tercatat 298 klien dicabut pembimbingannya dan 27 klien dibatalkan Sk Pembebasan Bersyaratnya. (AM)